Friday, July 11, 2008

Dandelion



Dulu, waktu aku masih SMA, aku selalu mikir, abis kuliah beres pengen kerja sebentar, terus nikah n punya anak dengan orang yang kucintai. Terdengar simpel banget dan sangat mudah dilakukan. Terutama bagian yang punya anaknya. Punya anak kan tinggal ngelakuin 'itu' ama suami, terus nunggu 9 bulan dan lahirlah anak. Yup, that simple.

Seiring perjalanan waktu dan berbagai pengalaman yang kualamin (dari mulai kuliah PSSR dengan Ibu Ifa dan Pak Primadi yang membahas mengenai anak-anak dan gaya lukisan mereka, mengajar di Pipilaka, sampai melihat contoh di sekelilingku), akupun mengerti. Untuk menikah dan mempunyai anak tidaklah semudah yang aku bayangkan.

Dimulai dari menikah.

Menikah itu lumayan simpel. Find the one you love and ask him to be your husband. Well, umumnya pasti akan mengatakan bahwa menikah tidak semudah itu karena banyak yang harus diurus dari kebaya sampai pemesanan gedung resepsi, etc, etc. Yah, well, setelah lama berpikir, ternyata nggak sesimpel itu juga.. Dan bukan gara-gara harus mengurus kebaya dan kawan-kawannya. Tapi karena hal lain.

Melihat berbagai pasangan di sekelilingku yang dulunya berkata "we love each other and we'll never separate", tapi akhirnya bercerai (kalo nggak percaya, coba liat gosip selebritis. paling nggak pasti ada yang ribut soal harta atau mau cerai dll) , dan melihat contoh pasangan yang masih bisa bertahan setelah 50 tahun pernikahan (yup, masih ada kok yang bisa bertahan seperti itu). Ternyata untuk menikah tidaklah semudah itu. Yah, aku sendiri juga belum pernah menikah, jadi nggak tau juga.

Tapi dari pengalaman yang diceritain oleh orang-orang terdekatku, untuk menikah, tidak bisa cuman bermodal cinta dan impian-impian semata. Karena pernikahan adalah penggabungan 2 pribadi yang berbeda menjadi satu. Pasti akan ada konflik sekecil apapun. Dan tanpa komitmen dan komunikasi yang kuat, pernikahan yang langgeng akan sulit dijalankan. Selain itu, mereka juga harus memiliki kesadaran bahwa dengan menikah, mereka sudah menandatangani kontrak sebagai suami dan istri di mana mereka tidak bisa lagi menekankan ego mereka masing-masing.

Pfiew... Bahasanya berat euy..

Next punya anak.

Kalau kata orang tuaku, untuk punya anak tidak semudah ngelakuin 'itu'. Ketika kita mau punya anak, kita harus sudah mempunyai konsep. Waktu denger kata-kata itu, aku sempet bingung. Mau punya anak aja repot. Kayak ngerjain tugas DKV aja musti bikin konsep segala. Tapi ternyata ada penjelasan yang lumayan mendalam di balik itu.

Ketika kita mau punya anak, kita harus memikirkan bagaimana membesarkan anak tersebut. Dimulai dari bagaimana memberinya makan, bagaimana membesarkannya, bagaimana merawatnya, menyekolahkannya sampai dewasa, dll. Kita tidak bisa semata-mata membuat anak saja tanpa memikirkan bagaimana mau membiayai anak itu hingga dewasa. Masak mau dikasih makan batu?

Repot? Namanya juga punya anak. :)

Last membesarkan anak.

Untuk yang ini aku sendiri masih bingung. Aku belum bisa menemukan kira-kira apa yang bisa jadi pegangan. Tapi dari apa yang kulihat selama ini, paling nggak ada satu hal yang bisa dijadikan pegangan. Kita harus selalu 'dekat' dengan anak kita. Bukan hanya dekat fisik, tapi dekat secara perasaan. Banyak anak-anak sekarang ini dibesarkan bukan oleh orang tua mereka, melainkan oleh babysitter. Efeknya, mereka cenderung menjadi 'anak babysitter' dibandingkan anak orang tua mereka. Dan akibatnya, mereka jadi cenderung tidak memiliki respek pada yang lebih tua.

Fuwah... memang tampaknya repot. Tapi yang penting adalah komitmen. Komitmen untuk hidup bersama pasangan kita, komitmen untuk mempunyai anak, dan komitmen untuk membesarkan anak kita.

Sincerely,

Bena

No comments: